Teguhkan Keimanan di Akhir Zaman

Ustadz Mintaraga Eman Surya, Lc., MA.

Kita hidup di zaman dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang dan berlimpah ruah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tentunya berdampak pada perubahan-perubahan lingkungan hidup. Tidak terbatas pada perubahan kultur budaya, namun juga hampir di semua lini kehidupan, baik pada sektor ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Perkembangangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menjamin solusi yang utuh atas berbagai macam problematika masyarakat yang ada, karena ruang lingkup kehidupan selalu identik dengan problematika, dan problematika tersebut selalu berkembang juga sesuai dengan kondisi masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi, selain menjadi wajah baru dalam dunia teoritik, ia juga terkadang menjadi sebab lahirnya problematika baru, seperti ancaman dan penindasan yang dilakukan oleh beberapa negara maju kepada negara-negara miskin dan terbelakang yang dilatarbelakangi oleh kekuasaan dan kekuatan persenjataan yang lengkap dan canggih serta motif-motif penjajahan yang masih mendarah daging. Hal ini tentu menjadi tantangan baru bagi kita yang diharuskan menbuat terobosan-terobosan baru dalam menyampaikan dakwah Islam yang damai dan menggembirakan. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa fase kehidupan di dunia sudah memasuki babak akhir, dengan kata lain jarak antara kehidupan manusia modern dengan hari kiamat akan sudah semakin dekat. Rasulullah shallallalu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.

“Saya dan hari kiamat seperti dua jari ini (jari telunjuk dan jari tengah).” (HR. Muslim no. 7597).

Hadits diatas menggambarakan bahwa jarak diutusnya Rasulullah dengan hari kiamat sangatlah dekat. Sehingga tidak heran jika pada fase kehidupan ini yang sudah masuk pada abad ke 21 semakin banyak problematika dalan kehidupan kita, karena salah satu ciri akhir zaman adalah ditandai dengan banyaknya masalah-masalah baru yang bermunculan ditengah-tengah kehidupan manusia.

Permasalahan yang mucul ditengah-tengah kita seringkali menciptakan kegelisahan dan kecemasan, sehingga kita sebagai seorang muslim dituntut untuk tetap fokus menjalankan tugas dan kewajiban kita sebagai manusia pada umumnya dan sebagai hamba Allah secara khusus. Keyakinan kita dengan akidah yang lurus, harus senantiasa diikuti dengan keistiqamahan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ghairu mahdah. Perlu diingat juga bahwa bebagai macam permasalahan yang terjadi disekitar kita tidak pernah lepas dari ketentuan dan ketetapan Allah, maka sudah seharusnya kita tetap berpegang teguh pada petunjuk Allah yang Allah sampaikan melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang demikian agar kita senantiasa mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah agar senantiasa berada pada jalan kebenaran dan terus istiqamah berada pada jalan itu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِى لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٌ فِى ٱلْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًا

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqon: 2).

Secara umum ayat ini menunjukkan keabsolutan kekuasaan Allah Ta’ala. Segala ciptaan baik yang ada di langit maupun di bumi adalah berada dalam kerajan Allah, peritiwa apapun yang terjadi di dalam keduanya (langit dan bumi) tidak pernah lepas dari pantauan Allah dan tentu saja semua itu didasarkan pada ketetapan-Nya. Allah adalah Rabb yang Esa, artinya tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya atau lahir dan tercipta dari dzat-Nya, dengan kata lain Ia tidak memliki anak, tidak pula diperanakkan. Maka tidak heran kenapa perbuatan musyrik merupakan perbuatan dosa yang amat besar dan bahkan tidak dapat diampuni, karena syirik merupakan bentuk menyekutukan Allah, artinya orang yang musyrik, berarti ia telah membuat tandingan-tandingan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, baik sifat maupun perbuatan sesuai dengan kadar dan ukurannya masing-masing. Ciptaan Allah merupakan hal yang pasti, artinya apa yang sudah Allah bentuk dari dulu (sebelum ada kehidupan) merupakan ciptaan yang tidak bisa diubah. Hal tersebut merupakan bukti bahwa ciptaan Allah itu sempurna. Berbeda dengan manusia yang menciptakan sesuatu tapi masih membutuhkan perbaikan-perbaikan hingga sampai pada tahap layak, namun bagaimanapun apa yang diciptakan melalui tangan-tangan makhluk tidak akan pernah menyamai kesempurnaan ciptaan Allah. Hal tersebut merupakan penjelasan bahwa Allah adalah sang Mudabbir, yaitu Rabb yang segala hal baik di langit maupun di bumi tunduk pada aturan-aturan-Nya. Maka sebagai seorang muslim kita tetap harus mengikuti aturan-aturan yang Allah sampaikan di dalam Al-Quran maupun melalui Risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita senantiasa terhindar dari keterpurukan dan terjaga dari segala bentuk kesesatan. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًاۢ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚفَاِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِّنِّيْ هُدًى ەۙ فَمَنِ اتَّبَعَ هُدٰيَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقٰى وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِيْٓ اَعْمٰى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيْرًا قَالَ كَذٰلِكَ اَتَتْكَ اٰيٰتُنَا فَنَسِيْتَهَاۚ وَكَذٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسٰى

Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat? Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (QS. Thaha: 123-126).

Barangsiapa yang mengikuti-Nya, mengikuti perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, maka sesungguhnya dia tidak akan tersesat di dunia dan akhirat serta tidak celaka di dua tempat itu. Bahkan dia dipandu menuju jalan yang lurus di dunia dan akhirat. Dia mendapatkan kebahagiaan dan rasa aman di akhirat kelak. Perasaan ketakutan dan kesedihan sudah dihapuskan darinya, tertuang dalam ayat yang lain, “Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 38). Mengikuti hidayah adalah dengan cara membenarkan berita wahyu tanpa menentangnya dengan syubhat-syubhat. Dan menaati perintah adalah melalui sikap tidak melawannya dengan nafsu syahwat. “Maka sesungguhnya dia mendapatkan penghidupan yang sempit,” maksudnya, sesungguhnya balasannya adalah kami menjadikan penghidupannya sempit lagi susah. Dan tidaklah hal itu melainkan suatu siksaan. Sebagian ahli tafsir memandang bahwa penghidupan yang sempit itu bersifat umum di dunia ini saja, semisal kesedihan, kegetiran dan hal-hal yang menyakitkan yang menimpa orang yang berpaling dari peringatan Rabbnya, yang merupakan siksaan yang disegerakan (di dunia ini), di alam Barzakh, dan di akhirat, lantaran lafazhnya mutlak tanpa diikat (dengan sesuatu pun). (Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Tafsir Surah Thaha: 123-124).

“Maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit.” Maksudnya, kehidupan sempit di dunia itu ia tidak pernah merasa tenang dan tidak pula merasa lapang dadanya. Bahkan dadanya penuh dengan kesempitan meskipun secara dhohir merasa nikmat, yaitu bisa memakai pakaian yang ia kehendaki, memakan makanan yang ia inginkan, dan tinggal dimanapun ia ingin tinggal, tetapi hatinya tidak murni serta tidak muncul didalamnya keyakinan serta petunjuk dari Allah SWT, maka ia selalu berada dalam keresahan, kebingungan, serta keragu-raguan, hal yang demikian selalu ia rasakan secara terus-menerus. Inilah yang disebut dengan kehidupan yang sempit. (Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Tafsir Surah Thaha: 124).

Sempit dalam kehidupan dunia, salah satunya adalah jika diri kita selalu merasa kurang terhadap nikmat yang Allah berikan. Kita tidak menyadari bahwa apa yang melekat dalam diri kita baik anggota badan seperti mata, telinga, mulut, tubuh, tangan, kaki, dan segala bentuk fisik lainnya merupakan nikmat yang tidak pernah kita sadari manfaatnya. Begitu juga nikmat-nikmat yang datang dari luar, dalam bentuk materi, seperti mendapatkan banyak rezeki berupa uang, makanan, pakaian dll, atau dalam bentuk non-materi seperti rasa bahagia, nyaman, tenang, dan damai. Nikmat-nikmat tersebut jarang sekali disadari oleh kita, sehingga kita selalu merasa kurang atas apa yang telah kita dapatkan. Padahal Allah telah banyak memberikan kenikmatan kepada kita, namun kita tidak banyak menyadarinya karena terlalu larut dalam kehidupan dunia yang penuh dengan godaan.

Yang demikian itu merupakan ciri manusia yang dalam hatinya masih timbul butir-butir kesesatan, karena salah satu ciri orang yang tersesat adalah mereka yang selalu lupa dan bahkan ingkar atas nikmat yang telah Allah berikan. Rasa syukur dan kerelaan hati terhadap nikmat-nikmat Allah merupakan sifat orang yang beriman, maka manakala kita masih sulit untuk mensyukuri nikmat Allah, perlu kita pertanyakan kembali, apakah kita benar-benar pantas disebut orang yang beriman?. Kebahagiaan seorang mukmin adalah dengan bersyukur, karena dengan rasa syukur, kita akan mendapatkan kelapangan hati serta kerelaan terhadap apa yang Allah berikan, yang demikian itu karena kesadaran kita bahwa Allah selalu memberikan sesuatu untuk kebaikan hamba-Nya, baik pemberian itu dirasakan langsung atau tidak. Sehingga kebahagiaan orang-orang yang bersyukur tidak hanya kebahagiaan dunia saja, namun juga kebahagiaan di akhirat kelak.

Rasulullah SAW, bersabda,

إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ ما فيها إلا ذِكْرُ اللَّهِ وما وَالَاهُ وَعَالِمٌ أو مُتَعَلِّمٌ

“Sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat segala isinya, kecuali Dzikir kepada Allah dan amalan- amalan ketaatan, demikian pula seorang yang ‘alim (paham ilmu agama dan mengajarkannya) atau orang yang mempelajari ilmu” (HR. at-Tirmidzi, no. 2322; Ibnu Mâjah, no. 4112; dan Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadhlih, 135, 136, no. 135 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Shaîh at Targhîb wat Tarhîb, no. 74).

Maksud dari laknat ialah jauh dari rahmat Allah, sehingga dapat diartikan bahwa kehidupan di dunia itu adalah laknat, kecuali bagi orang yang senantiasa berdzikir atau mengingat Allah SWT, orang yang taat kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan orang yang berusaha mencari ilmu dengan kesungguhannya. Kehidupan di dunia merupakan fitnah atau ujian yang Allah kehendaki untuk mengukur sejauh mana manusia mampu mengendalikan dirinya untuk selalu berusaha mencari rahmat dari Allah dan terhindar dari kehidupan yang terlaknat. Orang-orang yang mendapat laknat dunia ialah orang-orang yang mendapatkan banyak nikmat dari Allah, namun nikmat-nikmat yang datang kepada mereka tidak membuat mereka menjadi hamba yangbersyukur, justru dengan nikmat itu mereka semakin lalai dan bahkan kufur atas apa yang telah Allah berikan kepada mereka. Laknat tersebut tidak hanya menyengsarakan mereka di dunia, namun juga akan mendatangkan siksa bagi diri mereka di akhirat.

Allah berfirman,

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2).

Kehidupan dan kematian merupakan cara Allah untuk mengukur batas rasa syukur manusia. Dengan kehidupan kita akan tahu sejauh mana mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, dan dengan kematian kita akan tahu sejauh mana kita menyiapkan bekal untuk kehidupan dunia yang singkat. Namun perlu diingat keimanan yang ada dalam diri kita tidak akan Allah biarkan tanpa diuji. Karena dengan ujian Allah atas keimanan yang kita miliki akan meningkatkan derajat keimanan kita jika kita termasuk hamba yang ikhlas dan ridha atas uian itu, namun manakala ujian itu tidak dapat kita lalui dengan baik, maka kita perlu mengkhawatirkannya karena bisa jadi kita termasuk orang-orang yang dilaknat oleh Allah di kehidupan dunia, Na’udzubillah.

Allah berfirman,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3).

“Fitnah bermakna ujian, fitnah bermakna cobaan, fitnah bermakna harta, fitnah bermakna anak-anak, fitnah bermakna kekafiran, fitnah bermakna perselisihan pendapat di antara manusia.” (Lisanul Arab, Ibnu Mandzur al-Ifriqi, 13/317).

Dapat kita ketahui bahwa fitnah bukanlah sesuatu yang tidak kita sukai saja, tapi hal-hal yang lebih kita sukai atau kita cintai justru lebih berpotensi menjadi fitnah untuk diri kita sendiri. Kiat cenderung dapat menahan diri dengan bersabar ketika mendapatkan firnah berupa cobaan, yaitu musibah yang membuat kita sulit dan sengsara. Namun kesabaran tersebut seringkali kita lalaikan manakala kita sedang dalam keadaan bahagia, nyaman, dan damai. Padahal tidak semua kesenangan itu akan berdampak baik baik kita. Banyaknya harta mungkin akan membuat kita berfikir akan mampu bersedekah dengan mudah, membangun sekolah, masjid, dan membantu saudara-saudara kita yang sedang kesulitan, namun apakah kita yakin mampu bersabar dan menahan diri dari sikap kikir serta serakah. Karena sebagai seorang manusia biasa kita seringkali tergiur dengan hal-hal duniawi. Atau dengan luasnya wawasan kita terhadap pengetahuan yang kita kuasai, hal tersebut juga dapat menjadi sumber fitnah manakala kita tidak dapat mengontrol emosi kita, bisa jadi dengan ilmu yang kita kuasai tersebut, kita jadi merasa paling benar, paling tau, dan paling ahli dalam hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kita banggakan. Kseombongan tersebut yang kemudian dapat menyebabkan kita terjerut dalam belenngu permusuhan dan perselisihan diantara manusia. Maka perlu kita takankan kembali dalam hati kita bahwa tidak semua kesenangan yang kita anggap baik akan memberikan kebaikan juga untuk diri kita.

Allah berifman,

وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 35).

Kita harus selalu memperhatikan pola pikir kita terhadap hal-hal yang terjadi disekitar kita. Jangan sampai kita terjebak dalam ketidaksadaran. Banyak manusia yang merasa nyaman dengan kehidupan yang dimiliki saat ini, namun ia tidak menyadari bahwa bisa jadi, kenyamanan yang dimiliknya saat ini merupakan siksaan yang Allah berikan yaitu dengan meminimalisir amal kebaikannya. Jangan sampai kita menjadi pelajaran buruk bagi orang lain karena kelalalian kita sendiri. Dan hal yang paling penting adalah, kita harus senantiasa memohon petunjuk dari Allah agar terhindar dari segala bentuk kelalalaian dalam hidup.

Allah berfirman,

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً ۗ اَتَصْبِرُوْنَۚ

“Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqon: 20).

Jika setiap masalah atau problematika hidup dianggap sebagai cobaan dalam bentuk yang buruk atau tidak membuat hati nyaman, maka perlu diketahui juga bahwa cobaan dengan kenikmatan yang berlimpah, seperti hidup sejahtera, makan enak, dan terhindar dari masalah yang sulit, itu justru merupakan cobaan yang lebih berbahaya karena lebih rentan dengan kelalaian dan jauh dari mengingat Allah SWT. Maka istilah zona nyaman tidak akan pernah didapatkan di dunia, melainkan akan di dapatkan di akhirat berupa kenikmatan surga. Hal ini berlaku bagi orang-orang yang senantiasa ingat dengan kuasa Allah SWT. disetiap suka maupun duka.

Inetaksi yang kita lakukan dengan orang-orang dieskitar kita merupakan perwujudan dari kehidupan sosial dan merupakan bagian dari fitrah manusia untuk hidup bermasyarakat. Naum perlu kita ketahui juga bahwa semakin banyak relasi kita dengan orang lain, maka berpotensi juga menjadi musibah bagi diri kita sendiri, manakala kita tidak bisa mengontrol hubungan kita dengan orang lain. sebuah hubungan pertemanan yang hanya dilandasi orientasi keduniaan, maka hubungan itu akan menjadi malapetaka bagi kita, yaitu jika jalinan hubungan tersebut selalu dibungkus dengan kemaksiatan dan ia akan menjadi musuk bebuyutan di akhirat kelak. Berbeda jika suatu hubungan pertemanan itu dilandasi orientasi akhirat, maka segala hal yang dilakukan dalam hubungan tersebut selalu diusahakan untuk mendapat ridha dari Allah Ta’ala, dan di akhirat kelak mereka akan kembali dipertemukan dengan kenikmatan abadi yakni sura Allah.

Sekiranya kita mengetahui bahwa tidak semua kebahagiaan berujung baik dan tidak semua kesedihan berujung buruk, maka pasti kita akan lebih teliti lagi dalam menilai sebuah fenomena, kita akan dengan serius memahami keadaan kita dan keadaan disekitar kita, mana hal-hal yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah meskipun itu terlihat menyedihkan, dan mana hal-hal yang menjauhkan kita dari Allah meskipun ia menyenagkan.

Editor: Shihab Wicaksono Ardhi.

© 2022 All Rights Reserved.

Hubungi Admin
1
Hubungi Admin
Admin Fastabiqul Khoirot
Untuk Informasi Seputar Mahad Fastabiqul Khoirot, Silahkan Hubungi Admin!