Pujian: Antara Apresiasi atau Pengharapan Diri

“Jadilah orang yang menyukai status khumul (status tersembunyi dan tidak dikenal) dan membenci popularitas. Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan karena cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu.”

(Perkataan Ibnu Al-Mubarok dalam Shifatu ash-Shafwah, 2/325).

Manusia adalah makhluk sosial yang terkadang memerlukan pengakuan dari orang lain sebagai suatu harapan yang diinginkannya, maka normal saja jika manusia selalu suka dan ingin dipuji atas apa yang diperbuatnya. Terutama hal-hal yang dipandang baik. Namun yang perlu diingat adalah bahwa pujian manusia bukanlah segalanya. justru terkadang itu menggelincirkannya kepada rasa bangga diri yang berlebihan.

Dalam dakwah, yang menjadi urgensi adalah tersampaikannya pesan-pesan Allah kepada manusia dalam rangka menjalani hidup secara islami dan jauh dari segala macam keburukan. Sehingga, sukses atau tidaknya dakwah bergantung pada seberapa jauh nilai-nilai Islam itu dipahami dan diamalkan, bukan seberapa banyak orang yang mendengarkan dan menyaksikan. Oleh karenanya seorang pelaku dakwah baik kelompok maupun perorangan hendaknya melaksanakan misi dakwah secara tawadhu.

Ke-tawadhu-an seseorang tidak dapat dilihat secara dhohir. Sehingga, segala bentuk amalan dakwah tidak serta merta dilihat dari tampilan fisiknya saja. Amalan dakwah haruslah diniatkan dengan niat selurus mungkin, tidak mengharap pujian dan imbalan dalam bentuk apapun dari manusia.

Pujian yang berlebihan di samping memberikan rasa percaya diri yang terlalu tinggi juga menjadikan objeknyamemiliki ketergantungan. Seseorang yang terbiasa mendapat pujian tanpa diimbangi dengan kritik, saran, dan masukan yang membangun akan selalu memiliki harapan tinggi untuk dipuji dan akan merasa pesimis ketika pujian tidak kunjung didapatkan.

Kita tidak bisa melarang seseorang memuji, karena normalnya, manusia sebagai subjek sosial akan mengapresiasi satu sama lain terhadap apa yang diperbuat. Oleh karenanya, Kita hanya bisa mengembalikan kondisi tersebut pada ketangguhan diri kita selaku objek dari pujian tersebut, sejauh mana kita masih istiqomah dalam kesederhanaan hati. Bahwa semuanya itu adalah milik Allah subhaanahu wa ta’aala. Sebagaimana seseorang yang memiliki segalanya dalam kehidupan duniawi kemudian ia disodorkan berbagai macam kemewahan. Ia sendiri tidak mampu menolak kemewahan tersebut. Hanya kembali pada sifat asal yang tertanam dalam dirinya. Apakah tergerus atau bertahan.

Dalam konteks dakwah, ke-tawadhu-an menjadi unsur yang kerap diuji baik itu dari sudut pandang mutakallim maupun mukhattab. dari sudut pandang mukhattab sebagai objek dakwah ia terbebani dengan perjuangan-perjuangannya dalam menghadiri majlis ta’lim, hal itu tentu saja menjadi kesan tersendiri, merasa apa yang telah dilakukannya sebagai bagian dari jihad, namun terkadang juga lupa bahwa nilai ibadah jihad tersebut dapat terhapus makanakala timbul sifat ujub dari dalam dirinya yang membuat ia merasa paling baik perjuangannya dari pada orang lain. Sementara dari sudut pandang mutakallim sebagai subjek dakwah, kerap terbebani dengan kondisi mukhattab yang beragam. hal ini tentu saja sedikit banyak akan memberikan efek goyah terhadap niatnya. Sehingga ketabahan niat tersebut akan sangat teruji manakala banyak pujian yang datang menghujam, namun harus tetap teguh pada pendirian yang kuat karena Allah, tidak lalai dalam kebanggaan atas apa yang disampaikannya melalui tutur kata dan perbuatannya.

Dakwah hendaknya dilakukan dengan ketulusan hati dan kelurusan niat tidak ada sedikitpun harapan untuk dibalas dengan materi. Sehingga nilai dakwah harus disampaikan dengan tidak membanding-bandingkan kondisi hidup para jamaah, bukan karena kemewahan materi yang ditawarkannya, bukan juga karena kuantitas objek dakwah atau jamaah yang memenuhi ruang.  

Sebaliknya, jamaah sebagai objek dakwah juga harus bersikap adil dan bertanggung jawab atas apa yang diperoleh berupa ilmu yang didapatkan dari majelis ta’lim. Apa yang diperolehnya berupa ilmu itu jangan sampai menjadikannya sombong dan tidak mau menerima perbedaan yang bertolak belakang dari apa yang diyakininya. justru dengan bertambahnya ilmu, akan semakin terbuka hatinya dan siap menerima ilmu-ilmu lain sebagai tambahan wawasan, bukan dijadikan sebagai bahan debat apalagi adu kuat.

Baik mutakallim ataupun mukhattab sebagai unsur dari pada dakwah, maka kedekatannya dengan manusia secara umum menjadi titik penentu keberhasilan dakwahnya. orang yang memiliki ilmu yang tinggi akan dengan senang hati menjadi pembimbing bagi orang yang masih belajar. begitu juga orang yang masih belajar akan dengan sangat terbuka menyediakan ruang diskusi demi tercapainya tujuan dakwah. Dan keharmonisan tersebut akan menjadi nilai yang sangat baik manakala tidak terbesit dalam hati untuk menuai pujian dari apa yang dilakukannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” (HR. Ahmad no. 16460, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2674).

Hadits di atas adalah larangan yang Rasulullah sampaikan kepada umatnya yang beramal hanya untuk mendapatkan pujian dari sesama. Pujian yang berlebihan memang akan menggelincirkan, tetapi mengharapkan pujian jauh lebih membahayakan.

Apresiasi itu penting untuk memotivasi kebaikan atau mencapai tujuan, tetapi mengharapkan apresiasi adalah cerminan pendeknya visi seseorang. Karena jika visi seseorang itu Panjang, maka ia hanya mengharapkan apresiasi dari Sang Khalik semata.

Seorang jamaah yang berharap apresiasi (baca: ridho) dari Allah subhaanahu wa ta’aala tentu tidak akan selamanya menjadi pendengar saja. Ia dengan segala ilmu dan harta yang dimiliki akan bergerak untuk mengamalkan apa yang telah didapatkannya untuk kesejahteraan lingkungan sekitar. Seorang pelaku dakwah, bukan hanya menyeru di dalam masjid, di atas podium atau di sebuah majelis saja, tetapi ia akan berbaur dengan masyarakat dan berusaha menyampaikan nilai-nilai Islam melalui pendekatan kultural, tidak terbatas pada masyarakat dengan kelas atas namun juga merata pada masyarakat kelas bawah. Dan satu hal lagi, dakwah terbaik adalah dakwah yang juga terbuka dengan kritik, saran, dan masukan yang membangun, tidak hanya sebatas dakwah yang berorientasi pada pujian semata.

Lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan Abu Bakar As-shiddiq radiyallahu ‘anhu bersepakat bahwa tawanan Badar harus ditebus, dan Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu tidak sependapat. Kemudian Allah SWT membenarkan pendapatnya Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu, seketika keduanya menangis. Bersedih karena tidak sesuai dengan keinginan Allah subhaanahu wa ta’aala.

Akhirnya, kita kembalikan pada diri kita. Amal perbuatan yang kita lakukan akan mendapatkan apresiasi, positif ataupun negatif. Entah diungkapkan ataupun tidak. Karena pasti akan diceritakan orang, kebaikan atau keburukan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, jika itu apresiasi positif yang berupa pujian dan sebagainya, maka akankah sikap kita berubah? Akankah tetap rendah hati tanpa tendensi apapun? Ataukah bersikap merendah dengan tujuan disebut tawadhu? Ataukah menjadi eksklusif?

Wallahu a’lam.

Artikel yang Direkomendasikan

Hubungi Admin
1
Hubungi Admin
Admin Fastabiqul Khoirot
Untuk Informasi Seputar Mahad Fastabiqul Khoirot, Silahkan Hubungi Admin!