Bahaya Mengolok-olok Agama

Allah berfirman dalam QS. Al-Ahqaf ayat 26,

وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَآ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 26).

Ayat ini menggambarkan kehidupan manusia modern saat ini. Bagaimana kondisi hidup berkembang sangat pesat. Hal ini merupakan akibat dari berkembangnya teknologi dan pengetahuan yang membuat manusia semakin dipermudah dalam urusan-urusan hidup. Namun, disisi lain perkembangan tersebut memicu problematika yang semakin kompleks dalam urusan duniawi. Salah satunya yaitu, semakin tingginya tingkat persaingan diantara manusia yang semakin ketat. Tingkat persaingan yang tinggi akan memunculkan egosentrisme individu yang semakin mengental, hal tersebut akan berakitbat pada kultur hidup kapitalis dan juga rawan dengan penindasan. Egosentrisme yang tinggi membuat manusia tuli, yaitu menutup pendengaran mereka dari ayat-ayat Allah serta nasihat-nasihat kebaikan. Dan penglihatan mereka menjadi buta, yaitu tidak lagi peduli dengan ayat-ayat kauniyyah yang Allah tampakkan untuk mereka. Serta hati mereka tertutup dari hal-hal yang mendatangkan hidayah kepada mereka.

Pada akhirnya ketulian, kebutaan, serta tertutupnya hati mereka menjadi sebab siksa bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak mau menyadarkan diri dengan pendengaran mereka, tidak juga peduli dengan kabaikan-kebaikan yang nampak di hadapan mata mereka, serta menutup hati dari perangai baik yang datang kepada mereka. Dengan sebab itulah mereka jadi mudah mengolok-olok, mempermainkan agama Allah serta menjatuhkan tatanan syariat yang sebenarnya dibuat untuk kebaikan menusia sendiri.

Mengolok-olok secara dhohir, merupakan penghinaan yang dilakukan secara langsung dan terlihat jelas. Misalnya kasus-kasus memperolok agama yang marak terjadi ditengah-tengah kita. Hal itu mungkin saja tidak asing ditelinga kita, karena tanpa kita sadari hal tersebut menjadi kebiasaan yang seharusnya tidak terus menerus dilakukan. Ada juga mengolok-olok yang dilakukan secara maknawi, yaitu mereka yang menyepelekan ketentuan-ketentuan Allah dan bahkan meremehkan serta mengingkarinya. Misalkan pada ketentuan hukum waris yang sebagian orang menentangnya karena dianggap tidak adil, hal itu secara tidak langsung sudah merendahkan hukum Allah, dan secara tidak langsung juga mereka menganaggap bahwa Allah tidak berlaku adil untuk urusan harta manusia. Contoh lain pada syairat poligami yang dalam Islam hal tersebut dibolehkan. Adanya syariat poligami ini, kemudian menimbulkan banyak pro-kontra. Ada yang menganggap dengan adanya poligami, maka itu berarti sudah merendahkan harkat dan martabat wanita, karena dengan adanya poligami, seorang laki-laki yang melakukannya dianggap tidak menghargai perasaan wanita. Padahal sebenarnya syariat poligami dalam Islam bukan merupakan kewajiban, hal tersebut disyariatkan karena beberapa alasan yang masuk akal, misalnya wanita-wanita tawanan perang yang boleh dinikahi demi menjaga keutuhan hidupnya serta anak-anaknya. Poligami juga merupakan ketentuan yang hanya boleh dilakukan untuk orang-orang yang dianggap mampu, adil, bertanggung jawab, serta tidak melakukannya hanya karena kepentingan hawa nafsunya saja.

Selanjutnya Allah berfirman dalam QS. Al-Ahqaf ayat 27,

وَلَقَدْ اَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِّنَ الْقُرٰى وَصَرَّفْنَا الْاٰيٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan sungguh, telah Kami binasakan negeri-negeri di sekitarmu dan juga telah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami), agar mereka kembali (bertobat).” (QS. Al-Ahqaf: 27).

“disekitarmu” yaitu kota-kota yang dekat dengan jazirah arab. Ayat ini merupakan ayat makiyyah, sehingga secara spesifik ayat ini tertuju untuk masyarakat makkah saat itu. Di sebelah selatan ialah kaum ‘Ad yang terletak di Rub’ul Khaliq, Al-Ahqaf. Kemudian di sebelah barat terdapat kaum Saba’ di Yaman. Kemudian bagian utara Makkah dan Syam terdapat kaum Tsamud. Maka artinya maksud dari negeri yang dibinasakan dari ayat ini adalah tiga kaum tersebut yang telah Allah azab  karena kedurhakaan mereka kepada Allah Ta’ala.

Allah memberitahukan kepada umat manusia saat itu bahwa kaum-kaum sebelumnya yang Allah berikan keluasan rizki berupa harta yang berlimpah, tanah yang subur, keturunan yang banyak dan cerdas, serta kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera dapat Allah tarik kembali dan Allah binasakan seluruhnya karena sikap mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat Allah dan cenderung membangkang. Dibandingkan dengan Makkah yang ramai hanya karena adanya ka’bah sebagai tempat ibadah dan mata air yang tidak pernah kering sebagai sumber penghidupan, akan lebih mudah Allah binasakan jika mereka tidak taat kepada Allah. Padahal mereka sudah mendengar berita-berita dari para ahlul kitab serta kitab-kitab terdahulu tentang kebinasaan kaum sebelum mereka, namun kenapa mereka tidak mengambil pelaajaran?

Dengan demikian, Allah memberitahukan bahwa kejadian tersebut telah berulang kali dilakukan oleh kaum-kaum sebelum mereka, dan Allah beritahukan kepada mereka agar mereka bertaubat. Sehingga tugas kita sebagai orang yang beriman adalah berusaha menangkap kejadian-kejadian di alam semesta. Musibah yang datang kepada orang-orang disekitar kita serta ujian-ujian berupa kenikmatan adalah bagian yang harus terus kita sadari bahwa bisa jadi Allah memberikan peringatan kepada kita melalui kejadian serta peritiwa tersebut, dan semua itu harus dapat kita ambil pelajarannya agar kita sadar dan bertaubat.

Musibah atau bencana yang terjadi diseitar kita dapat kita maknai dalam beberapa hal. Pertama, Fitnah atau Ujian. Kedua, Siksa atau Adzab. Ketiga, Peringatan. Keempat, sebagai isyarat pengetahuan.

Maka ketika kita menjumpai suatu musibah di suatu wilayah tertentu, jangan sampe langsung menuduh bahwa di wilayah itu sudah terjadi banyak kemaksiatan serta kemungkaran, sehingga orang-orang yang hidup di dalamnya di adzab oleh Allah. Ungkapa-ungkapan tersebut merpuakan ungkapan yang tidak berperikemanusiaan. Karena disaat saudara-saudara kita tertimpa musibah, bukannya menguatkan dan menasehati kesabaran, kita malah menuduh mereka sebagai pelaku maksiat sehingga semakin menambah kecemasan dan ketakutan dalam hati mereka. Wilayah yang tidak pernah terjamah oleh musibah, bukan berarti wilayah tersebut itu suci dalam arti orang-orang yang di dalamnya tidak pernah bermaksiat, justru yang perlu kita ingat adalah bahwa musibah terbesar itu bukanlah bencana alam dan lainnya, tetapi musibah terbesar adalah jauhnya kita dari Allah Ta’ala. Orang yang sudah dijauhkan dari Allah, mungkin saja Allah timpakan kepadanya rasa nikmat bertubi-tubi sehingga ia semakin lalai dengan Allah, dan bisa jadi ia merasa aman dari siksa dan adzab Allah sehingga muncul kesombongan dalam hati mereka. Contoh musibah lain ialah seseorang yang terbiasa melakukan suatu amal kebaikan, namun kemudian Allah lalaikan ia dari melakukan kebaikan itu karena dosa yang ia lakukan, maka bisa jadi itu adalah musibah berupa siksa, yaitu lalai untuk melakukan kebaikan yang biasa dia lakukan.

Allah berfirman dalam QS. Yusuf ayat 111,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 111).

Lebih jelas lagi Allah menjelaskan dalam ayat diatas, bahwa orang yang memiliki nalar yang sehat, maka ia akan mengambil ibrah atau pelajaran atas kejadian atau peristiwa yang terjadi disekitarnya. Orang yang mempunyai akal akan terlebih dahulu manganalisa suatu musibah yang terjadi disekitarnya, apakah musibah itu adalah fitnah, atau siksa, atau peringatan, atau mungkin hanya sekedar fenomena alam yang terjadi sacara natural. Sehingga dengan itu ia akan lebih pandai mengambil jalan solusi terbaik agar ia senantiasa menebarkan ketentraman bagi orang-orang beriman.

Editor: Shihab Wicaksono Ardhi.

Artikel yang Direkomendasikan

Hubungi Admin
1
Hubungi Admin
Admin Fastabiqul Khoirot
Untuk Informasi Seputar Mahad Fastabiqul Khoirot, Silahkan Hubungi Admin!