Hukum Shalat Berjamaah di Masjid bagi Wanita

  1. Madzab Hanafi

Al-Kasani salah seorang ulama Hanafiyah dalam kitabnya Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai menuliskan:

فَالْجَمَاعَةُ إِنَّمَا تَجِبُ عَلَى الرِّجَالِ، الْعَاقِلِيْنَ، الأحْرَار، القَادِرِيْنَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ حَرْج فَلَا تَجِبُ عَلَى النِّسَاءِ

 “Shalat berjama’ah diwajibkan bagi laki-laki yang berakal, merdeka, mampu melakukannya tanpa halangan, dan tidak diwajibkan bagi wanita”. (Al-Kasani, Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai, jilid 1 hal.155).

Dari penjelasan diatas, diketahui bahwa mazhab hanafi mewajibkan shalat berjamaah bagi laki laki namun tidak wajib bagi wanita. Maka jika tidak di wajibkan, apakah boleh bagi wanita shalat berjamaah di masjid?

 وَيَكْرَهُ لَهُنَّ حُضُوْرُ الَجمَاعَاتِ ” يَعْنِيْ الشَّوَاب مِنْهُنَّ لَمَّا فِيْهِ مِنْ خَوْفِ الْفِتْنَةِ ” وَلَا بَأْسَ لِلْعَجُوْزِ أَنْ تَخْرُجَ فِي الْفَجْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ” وَهَذَا عِنْدَ أَبِي حَنِيْفَة رَحِمَهُ اللّه

Makruh bagi wanita-wanita muda menghadiri shalat berjamaah, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah, dan tidak mengapa bagi wanita yang sudah berusia senja untuk menghadiri shalat shubuh, maghrib dan isya di masjid. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (Al-Marghinani, Al-Hidayah fi Syarhi bidayah Al-Muftadi, jilid 1, hal.58).

Kemudian Badruddin Al-‘Aini menjelaskan maksud dari makruh dari pernyataan Al-Marghinani adalah makruh yang mendekati haram.

قُلْتُ: الْمُرَادُ مِنَ الْكَرَاهَةِ التَّحْرِيْمِ وَلَا سِيَمَا فِي هَذَا الزَّمَانِ لِفَسَادِ أَهْلِهِ

Yang dimaksudkan dari makruh disana adalah haram. Terutama pada zaman sekarang ini, seiring bertambah rusak orang-orangnya. (Badruddin Al-Aini, Al-Binayah Syarah Al-Hidayah, Jilid 2, hal. 354).

Jadi, menurut pendapat mazhab Hanafi, hukum menghadiri shalat berjamaah dibedakan antara wanita yang masih muda dan wanita yang sudah lanjut usia.

Kalau wanita yang sudah lanjut usia yang tidak menarik lagi dari segi fisik dan kecil kemungkinan menyebabkan fitnah, mereka dibolehkan hadir shalat berjamaah di masjid.

Adapun wanita yang masih muda, maka dimakruhkan bahkan diharamkan. Karena dapat menimbulkan fitnah.

Badruddin menjelaskan sesuatu yang membawa kepada yang haram maka diharamkan. Maka kalau kehadiran para wanita ini ke masjid dapat menyebabkan fitnah, maka dia diharamkan.

  1. Mazhab Maliki

Al-Hathab Ar-Ru’anini salah seorang ulama malikiyah dalam kitabnya Mawahib Al-Jalil menuliskan:

وقد كره مالك ذلك للشابة ولعل هذا هو المعهود من عمل الصحابة فلا يعرف أن أبكارهن ومن ضاهاهن يخرجن إلى المسجد، ولو خرج جميع النساء لملأن المسجد وعادلن الرجال في ذلك…ثم قال وخرج أبو داود عن ابن عمر أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال «لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن» ، وهذا يقتضي أن خروجهن إليها جائز وتركه أحب على ما قاله مالك في المختصر.

Imam Malik memakruhkan wanita yang masih muda (hadir shalat berjama’ah di masjid), karena berdasarkan perbuatan para sahabat, dimana pada waktu itu tidaklah diketahui para wanita mereka yang masih gadis atau yang muda-muda keluar ke masjid. Kalau seandainya para wanita ini turut ke masjid. Maka masjid dipenuhi mereka dan melebihi laki-laki. Adapun hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Umar:” Janganlah kalian larang wanita-wanita kalian ke masjid, dan rumah mereka lebih baik bagi mereka”, maksudanya adalah keluaranya mereka menuju masjid boleh, namun meninggalkan perbuatan tersebut lebih disukai sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik dalam Al-Mukhtashar.

Kemudian Al-Kharsyi menjelaskan, hukum terkait hadirnya wanita ke masjid tergantung status wanita tersebut. Sebagaimana berikut:

أنه يجوز ويندب للمتجالة المسنة التي لا أرب للرجال فيها أن تخرج إلى صلاة العيد والاستسقاء وأحرى للفرض، أما متجالة لم ينقطع أرب الرجال منها بالجملة فهذه تخرج للمسجد ولا تكثر التردد كما في الرواية، ويجوز جوازا مرجوحا للشابة أن تخرج للمسجد في الفرض وجنازة أهلها وقرابتها لا لذكر ومجالس علم وإن انعزلت كما قاله ابن عرفة وهذا ما لم تكن بادية في الشباب والنجابة وإلا فلا تخرج أصلا ولا يقضى على زوج الشابة بالخروج للمسجد لصلاة الجماعة إن طلبته بخلاف المتجالة

“Bahwasanya boleh bagi seorang wanita yang telah senja usianya dan tidak menarik perhatian lelaki, untuk keluar rumah guna menjalankan shalat ied, istisqa’ dan terlebih lagi untuk shalat fardlu.  Adapun untuk wanita yang telah senja usianya tetapi masih menarik perhatian lelaki secara umum maka ia (diperbolehkan) ke masjid tetapi tidak sering, demikian yang terdapat dalam riwayat ini, sedangkan untuk wanita muda boleh ke masjid untuk menunaikan shalat fardlu dan menghadiri jenazah keluarga serta kerabatnya. Namun (tidak diperbolehkan ke masjid) untuk menghadiri dzikir atau majlis ilmu meskipun menjadikan ia terasingkan. Sebagaimana yang diakatakan oleh Ibnu Arafah. Kehadiarannya dibolehkan selama tidak menarik dan nampak di kalangan pemuda. Kalau justru menarik para pemuda, maka dia tidak boleh keluar masjid, dan tidak pula bagi suaminya untuk mengijinkannya ke masjid meskipun dia meminta (Al-Kharsyi, Syarah Mukhtashar Khalil li Al-Kharsyi, Jilid. 2, hal.35).

  1. Mazhab Syafi’i

Al-Mawardi, salah satu ulama mazhab Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir sebagai berikut:

من السنة لهن الصلاة في بيوتهن دون المساجد

“Disunnahkan bagi para wanita shalat di rumah-rumah mereka bukan di masjid”. (Al-Mawardi Al-Hawi Al-Kabir, jilid.2, hal. 163).

Imam An-Nawawi menuliskan:

وَأَمَّا النِّسَاءُ فَجَمَاعَتُهُنَّ فِي الْبُيُوتِ أَفْضَلُ لِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ ” قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ ” فَإِنْ أَرَادَتْ الْمَرْأَةُ حُضُورَ الْمَسَاجِدِ مَعَ الرِّجَالِ فَإِنْ كَانَتْ شَابَّةً أَوْ كَبِيرَةً تُشْتَهَى كُرِهَ لَهَا الْحُضُورُ وَإِنْ كانت عجوز الا تُشْتَهَى لَمْ يُكْرَهْ

Bagi para wanita, melaksanakan shalat berjamaah di rumah-rumah mereka lebih afdhal. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian larang istri-istri kalian ke masjid, dan rumah mereka lebih baik bagi mereka”. Namun jika seorang wanita ingin hadir shalat berjama’ah di masjid bersama kaum laki-laki, dan seorang dia wanita yang masih muda, atau sudah tua tapi masih menarik, maka makruh baginya hadir shalat berjamaah di masjid. Tapi, jika wanita tersebut telah berusia senja, tidak menarik lagi, maka tidak makruh baginya hadir ke masjid. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid.4, hal.197).

Kemudian Ar-Ramli juga menegaskan mengenai hukum wanita muda shalat berjama’ah di masjid:

ويكره لها حضور جماعة المسجد إن كانت مشتهاة ولو في ثياب مهنة، أو غير مشتهاة وبها شيء من الزينة أو الريح الطيب

“Dimakruhkan bagi wanita yang musytahah (menarik) ikut shalat berjamaah di masjid walaupun memakai pakaian yang jelek, atau dia bukan wanita yang menarik yang dapat menimbulkan syahwat, tapi mengenakan perhiasan atau wewangian”. (Ar-Ramli Nihayatu Al-Muhtaj, jilid 2, hal. 140).

  1. Madzhab Hambali

Al-Buhuti, salah seorang ulama Hanbaliyah dalam kitabnya Kasyaf Al-Qina’ menjelaskan:

وَتُسْتَحَبُّ) الْجَمَاعَةُ (لِنِسَاءٍ، إذَا اجْتَمَعْنَ مُنْفَرِدَاتٍ عَنْ الرِّجَالِ، سَوَاءٌ كَانَ إمَامُهُنَّ مِنْهُنَّ أَوْ لَا) لِفِعْلِ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ …(وَيُبَاحُ لَهُنَّ حُضُورُ جَمَاعَةِ الرِّجَالِ، تَفِلَاتٍ غَيْرَ مُتَطَيِّبَاتٍ) يُقَالُ: تَفِلَتْ الْمَرْأَةُ تَفَلًا، مِنْ بَابِ تَعِبَ إذَا أَنْتَنَ رِيحُهَا لِتَرْكِ الطِّيبِ وَالِادِّهَانِ وَتَفِلَتْ إذَا تَطَيَّبَتْ، مِنْ الْأَضْدَادِ، وَذَكَرَهُ فِي الْحَاشِيَةِ (بِإِذْنِ أَزْوَاجِهِنَّ) ؛ لِأَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يَحْضُرْنَ عَلَى عَهْدِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَمَا يَأْتِي فِي الْبَابِ وَفِي صَلَاةِ الْكُسُوفِ وَكَوْنُهُنَّ تَفِلَاتٍ لِئَلَّا يَفْتِنَّ وَكَوْنُهُ بِإِذْنِ أَزْوَاجِهِنَّ لِمَا يَأْتِي أَنَّهُ يَحْرُمُ خُرُوجُهَا بِغَيْرِ إذْنِ زَوْجِهَا

)وَيُكْرَهُ حُضُورُهَا) أَيْ جَمَاعَةَ الرِّجَالِ (لِحَسْنَاءَ) شَابَّةٍ أَوْ غَيْرِهَا؛ لِأَنَّهَا مَظِنَّةَ الِافْتِتَانِ (وَيُبَاحُ) الْحُضُورُ (لِغَيْرِهَا) أَيْ غَيْرِ الْحَسْنَاءِ، تَفِلَةً غَيْرَ مُتَطَيِّبَةٍ بِإِذْنِ زَوْجِهَا: وَبَيْتُهَا خَيْرٌ لَهَا.

Disunnahkan bagi jamaah perempuan tersendiri melaksanakan shalat berjama’ah selama terpisah dari kaum laki-laki. Baik yang menjadi imam dari mereka sendiri atau yang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Aisyah dan Ummu Salamah.

Diperbolehkan pula bagi para wanita ikut shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki selama mereka tidak mengenakan wewangian dan seijin para suami mereka.

Dan makruh hukumnya bagi wanita yang menarik, baik masih muda, ataupun sudah tua menghadiri shalat berjama’ah di masjid, karena dapat menyebabkan fitnah.

Dan sebaliknya, dibolehkan bagi wanita yang tidak menarik untuk hadir shalat berjama’ah di masjid, dengan tidak memakai minyak wangi dan seijin suaminya. Dan rumahnya lebih baik baginya. (Al-Buhuti, Kasyaf Al-Qina’ ‘an Matan Al-Iqna’ jilid.1, hal 456).

Baca Juga: Pernikahan Sebagai Sarana Ibadah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Admin
1
Hubungi Admin
Admin Fastabiqul Khoirot
Untuk Informasi Seputar Mahad Fastabiqul Khoirot, Silahkan Hubungi Admin!
Verified by MonsterInsights